Senin, 28 Mei 2012

Pemimpin dalam Tiga Peran

Oleh: Achmad Tri Budiawan dan Wima Adang Nugraha (Calon Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa)


Koordinator
Peran paling sederhana dari seorang pemimpin yang saya tahu adalah mengoordinasi. Dia yang memimpin adalah dia yang mengetahui kemana organisasi (atau kelompok) akan mengarah, dan memahami cara paling efektif untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Sebuah kisah dari para pelari maraton akan menjadi pelajaran.
            Pada musim semi yang sejuk di pegunungan Nevada, sekelompok orang saling mengejar dalam sebuah perlombaan maraton jarak jauh. Mereka terus berlari tanpa melihat rambu-rambu jalan. Karena memang sebagian besar dari mereka bukanlah penduduk setempat yang memahami rute maraton tersebut dan memang rambu-rambu jalan bukanlah pemandangan yang menarik untuk dinikmati. Satu-satunya yang mereka lakukan hanyalah mengejar pesaing mereka yang ada di depannya. Satu terlewati, lalu target selanjutnya adalah melewati yang satu di depannya lagi. Demikian seterusnya. Hingga perjalanan yang mereka lalui sudah semakin jauh, terlalu jauh bahkan bagi mereka yang terbiasa mengikuti perlombaan serupa.
            Hingga akhirnya ada salah satu dari mereka yang menyadari adanya kesalahan dalam rute yang mereka tempuh.Dan penyebabnya sederhana. Bahwa mereka sepanjang lari bukannya mengikuti rambu-rambu, malah mengikuti orang yang berlari paling depan, yang ketika ditanya, juga tak mengetahui dimana letak garis finish.

Memang, organisasi tidaklah sesederhana orang-orang yang berlari maraton, namun konsep kepemimpinannya, tak berbeda jauh. Bahwa setiap kelompok yang memulai suatu perjalanan ke sebuah tujuan, terlepas dari jauh atau tidaknya tujuan tersebut, butuh arahan seorang pemimpin. Mulai dari arahan kecil hingga arahan besar, idealnya tak lepas dari pantauan pemimpin. Karena jika ada hal kecil saja yang tak sesuai dengan Grand Design organisasi, bisa jadi akan menimbulkan perbedaan besar nantinya. Bayangkan sebuah pesawat yang meluncur dari Washington DC ke arah Tel Aviv, jika titik koordinatnya digeser 1 derajat saja, maka pesawat itu akan tiba di Moscow ketimbang Tel Aviv.

Motivator
Berikutnya adalah motivator. Peran ini, gunanya untuk menjaga agar semua anggota kelompok tetap yakin dan semangat dalam usaha pencapaian tujuan. Peran ini, sangat penting dalam jenis organisasi yang memiliki waktu kerja jangka panjang.
Dan tak ada contoh lebih baik yang bisa saya temukan dalam peran ini selain kisah Muhammad yang memecahkan batu di pinggir kota madinah.
            Saat itu umat Islam tengah berada dalam kondisi multikrisis. Musim dingin dan ancaman perang, intimidasi internal para munafik dan penghianatan kelompok Yahudi. Kondisi yang lengkap untuk menghancurkan sebuah protonegara yang baru terbentuk. Sehingga pada suatu penggalian parit (yang ditujukan untuk menghalau musuh), sebongkah batu yang enggan pecah terasa sebagai ganjalan yang bisa dikategorikan ancaman nasional kala itu. Namun, Muhammad tampil sebagai motivator yang jangkauannya begitu luas ke depan. Bukan hanya sebagai pemimpin yang badannya kuat yang dimintai tolong untuk memecahkan batu. Namun dalam serpihan batu-batu yang pecah itu, ia meyakinkan akan adanya gerbang-gerbang kerajaan besar yang akan terbuka untuk umat Islam. Dalam serpihan batu yang berhamburan, ia memberikan imaji akan sebuah menara tinggi yang menjadi saksi kemenangan umat Islam. Ya, lelaki itu mampu menemukan dan memberi motivasi hanya dari serpihan batu yang pecah di ujung martilnya.
Peran sebagai motivator ini, tak menuntut kita untuk menjadi seorang MT atau Andre Wongso dalam keseharian. Namun setidaknya, kita bisa menjadi sosok pemimpin yang dalam tindak tanduknya, tingkah lakunya, mencerminkan satu hal: bahwa kita masih optimis dengan tujuan yang akan kita capai. Sekecil-kecilnya peluang, tetaplah sebuah peluang, yang keterjadiannya tetap bisa diharapkan.

Komunikator
Seringkali, masalah komunikasi menjadi batu sandungan dalam setiap kelompok. Seperti kisah Napoleon pada salah satu catatan perangnya di Timur Tengah, tepatnya Turki pada 1799. Saat itu dia sedang terserang batuk, dan batuknya itu mengharuskan ia mengeluarkan umpatan. “Ma sacre toux” yang artinya batuk sialan. Nah, seorang komandan perangnya yang ada di sana salah mendengar dan menafsirkan kata-kata itu dengan “Massacrez Tous”, yang artinya bunuh semua. Alhasil, 1200 tahanan dieksekusi hari itu.
Saya tidak menyoroti bersinnya Napoleon di sini, melainkan posisi sang komandan, pemimpin pasukan yang juga bawahan dari Napoleon. Bahwa memang sulit mencari seorang pemimpin yang benar-benar mutlak memimpin. Katakanlah seorang direktur perusahaan, maka meskipun ia memimpin karyawan, ia juga harus memenuhi target-target yang diinginkan investor dan pemilik. Ia pun bukan pemimpin mutlak. Sama halnya dengan kapten tim sepakbola, meskipun sepuluh pemain berada di bawah komandonya, ia tetaplah mesti mendengar pelatih yang berteriak-teriak di pinggir lapangan. Ia pun bukan pemimpin mutlak.
Dalam ranah kampus, presiden mahasiswa sekalipun bukanlah pemimpin mutlak. Di STAN saja, setidaknya masih ada Kepala Kesekretariatan dan Direktur STAN yang harus juga didengarkan ‘fatwa’nya dalam setiap pengambilan keputusan.
Maka, agar tak terjadi kerancuan instruksi dari pihak pertama ke pihak ketiga, diperlukan seorang pemimpin sebagai pihak kedua yang menjembatani bahasa konsep menjadi bahasa teknis. Intinya, fungsi pemimpin di sini adalah menyederhanakan permasalahan dan solusi.
Sulit memang menemukan tiga peran ini dari satu pribadi. Namun setidaknya ada satu hal yang wajib dalam pribadi seorang pemimpin. Yakni sifat peduli. Sebagaimana John C. Maxwell menyampaikan, people don’t care how much you know, until they know how much you care.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak dengan berkomentar ya!