Minggu, 27 Mei 2012

Kepemimpinan Efektif

Oleh: Laode Athar Alfikry (Calon BLM Akuntansi Pemerintahan)


Bicara tentang kepemimpinan terkait erat dengan persoalan “pemimpin dan yang dipimpin”. Dan pada lanjutannya, hal ini akan mengarah kepada persoalan manajemen organisasi, di mana dibahas di sana mengenai interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin, metode kepemimpinan efektif, dan segala macamnya.
Banyak sudah kita mengenal sosok-sosok pemimpin, mulai dari tingkat keluarga, RT/RW, nasional, sampai yang harum namanya sudah ‘go international’. Dalam agama Islam, kita mengenal Muhammad ibn Abdullah, seorang Nabi, kepala keluarga, kepala pemerintahan, hakim dan panglima militer sekaligus. Di kancah Perang Dunia I dan II, kita juga mengenal Adolf Hitler dengan kepemimpinan rasis dan pembantaian besar-besaran yang dilakukannya. Di kubu komunis kita tahu Joseph Stalin dengan kepemimpinan tangan besinya yang penuh intrik. Di Indonesia sendiri, siapa tidak kenal Bung Karno, Jendral Soedirman, Pangeran Diponegoro dan masih banyak lagi.
Namun ketika muncul pertanyaan mendasar mengenai siapakah pemimpin terbaik dari sekian banyak pemimpin yang ada, maka kita membutuhkan suatu tolak ukur umum yang dapat dijadikan acuan. Seorang pemimpin dikatakan berhasil bukan karena tujuan yang hendak ia capai dapat terwujud. Bukan pula karena ia mengusung nilai-nilai moral yang mulia (karena jika begitu jelaslah Hitler, dkk. tidak masuk hitungan). Baik atau tidaknya seorang pemimpin diukur dari segi efektifitas kepemimpinannya, bagaimana pengaruh yang ia miliki dapat ditularkan secara menyeluruh dan meresap ke dalam diri bawahan-bawahannya.

Berangkat dari hal di atas, khusus kali ini, saya akan mengangkat mengenai kepemimpinan yang efektif. Namun sebelum beranjak lebih jauh, perlulah semestinya penyamaan persepsi dan definisi dasar mengenai kepemimpinan itu sendiri.
Menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok.
Menurut Young (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
Dari definisi-definisi di atas, perlu digaris bawahi beberapa hal:
1.            Kepemimpinan merupakan suatu kegiatan/proses/seni,
2.            Untuk mempengaruhi/mendominasi/mendorong/mengajak,
3.            Untuk mencapai tujuan tertentu.
Kepemimpinan dengan segala macam metodenya, menuntut suatu proses yang efektif. Jika mengambil kesimpulan dari pengertian-pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan kepemimpinan efektif adalah ketika seorang pemimpin dalam hal mempengaruhi orang lain, dapat menanamkan pandangannya (visi) sedalam mungkin sehingga visi tersebut ikut melekat dalam diri orang lain.
Menyangkut kepemimpinan yang efektif, guru manajeman terkenal, Peter Drucker, menjawabnya hanya dengan beberapa kalimat: "pondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah berpikir berdasar misi organisasi, mendefinisikannya dan menegakkannya, secara jelas dan nyata
Sejalan dengan Peter Drucker, dalam bukunya yang berjudul The Carrot Princple, Andrei Gostik menyimpulkan bahwa kepemimpinan yang efektif di dasari pada beberapa hal berikut:

1.            Penentuan tujuan
Tujuan di sini dapat dipersamakan dengan visi dan misi. Seorang pemimpin mampu menyampaikan secara jelas tujuan yang hendak dicapai dan memastikan bahwa orang lain bergerak sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai tersebut. Apa visi dan misi organisasi harus sudah terinternalisasi dan terkristalisasi dalam diri masing-masing anggota.

2.             Komunikasi
Koordinasi dan komunikasi layaknya aliran darah dalam tubuh. Ketika jalur komunikasi ini macet (baca: mis komunikasi) maka dapat menimbulkan berbagai kekeliruan. Penting halnya dalam suatu organisasi, dibangun suatu komunikasi yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin. Komunikasi yang baik di sini tidak berarti mengabaikan hierarki yang sudah ada. Tetap ada adab-adab interaksi antara atasan dan bawahan, maupun antara sesama bawahan. Namun seorang pemimpin sebaiknya juga tidak terlalu menjaga jarak dengan bawahannya.

3.            Kepercayaan
Komunikasi yang efektif didasari dengan adanya saling percaya antara pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi tersebut; dalam hal ini antara atasan dengan bawahannya. Kepercayaan di sini berlaku dalam interaksi dua arah. Di satu sisi seorang atasan harus percaya kepada bawahannya, bahwa ia dapat mengerjakan instruksi dengan baik. Dan di sisi lain sorang bwahan juga harus percaya kepada atasannya, bahwa ia mampu membawa organisasi untuk mencapai tujuan yang semula sudah disepakati bersama untuk dicapai.

4.             Akuntabilitas (Pertanggungjawaban)
Dasar keempat adalah pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Banyak pemimpin yang akhirnya gagal menjalankan beberapa proyek karena melalaikan dasar ini. Hal ini tidak dimaksudkan untuk mencari kambing hitam atas kegagalan organisasi, tapi ditujukan untuk menuntut pertanggungjawaban dari semua orang yang terlibat dalam organisasi tersebut. Pertanggungjawaban ini selanjutnya dapat pula menjadi dasar dalam proses evaluasi kinerja. Sehingga ke depannya suatu organisasi dapat mengambil langkah dan solusi yang tepat dari hasil evaluasi yang ada.

Meyimpulkan semua poin diatas, menurut saya pribadi, ruh dari kepemimpinan yang efektif sejatinya adalah visi. Visi yang membuat suatu arahan memiliki makna. Bukan hanya dimiliki dalam benak pribadi seorang pemimpin, visi ini selanjutnya juga harus ditularkan oleh seorang pemimpin kepada yang dipimpin. Sehingga dalam perjalanan organisasinya, ada kesamaan dan keselarasan gerak serta tujuan yang hendak dicapai. Dengan begitu diharapkan pula nantinya tidak ada lagi perbedaan kepentingan, pemicu konflik internal, dan sebagainya.
Visi inilah yang menjadi pembeda. Tebalnya keyakinan dan kemauan akan terwujudnya suatu visi membuat suatu aktifitas semata-mata dilakukan atas dasar sukarela. Sebagai contoh, seorang tukang sapu yang bekerja di bawah Dinas Kebersihan Kota misalnya, ketika tidak memiliki atau tidak ‘ditulari’ visi oleh atasannya, maka ketika ditanya untuk apa ia menyapu, mungkin jawabannya adalah “ya, saya menyapu karena disuruh atasan” atau “saya menyapu biar digaji”. Namun, ketika visi itu sudah melekat benar dalam pribadinya, kita akan mendapati jawaban yang berbeda, jawaban sekaliber “saya menyapu untuk menciptakan kota yang lebih bersih dan berperadaban” atau “saya menyapu untuk ikut memajukan Negara dari segi kebersihan”. Perbedaan pola pikir yang mendasari suatu aktifitas yang sama inilah, pada akhirnya juga akan memberikan hasil yang berbeda.
Ya, pada akhirnya, setiap pemimpin dituntut untuk memiliki visi atau tujuan yang jelas. Namun tidak hanya sampai di situ, suatu organisasi dengan kerja besar tidak dapat dikerjakan oleh seorang saja. Dibutuhkan orang-orang yang siap menggeser kepentingan pribadinya. Di situlah pentingnya menularkan visi yang sama kepada orang lain, sehingga sebuah tujuan besar dapat dicapai dengan baik atas kerja sama dalam kekuatan maupun pikiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak dengan berkomentar ya!