Senin, 28 Mei 2012

Kepala Ayam atau Ekor Harimau

Oleh: Rahmad Prasetyo dan Arrozaq Nugraha Putra (Calon Ketua dan Wakil Ketua IMP)


“Ada satu kerinduan – nyaris sedalam dan sekental hasrat untuk makan atau untuk tidur. Yaitu hasrat untuk menjadi orang luar biasa. Hasrat untuk menjadi orang penting” – Dale Carnegie
Di sebuah film mandarin yang pernah saya tonton, pernah ada pernyataan dari salah seorang actor yang sangat saya ingat kata – katanya. “Lebih baik aku menjadi kepala Ayam ketimbang menjadi ekor harimau” Ujarnya. Ada suatu makna yang saya rasa mewakili keinginan sebagian besar orang. Yakni kehausan akan aktualisasi diri. Dan Abraham maslow, sang Teoritikus dalam teori – teori kepribadian pun menyepakati hal serupa. Aktualitas.
Apa hal mendasar yang menjadi pembeda antara kepala ayam dan ekor harimau yang dimaksud dalam kalimat itu? Apakah kalimat itu hanya mewakili perasaan si lakon dalam film yang lebih memilih menjadi pemimpin meskipun dalam kelompok yang kecil ketimbang ada dalam kelompok yang besar namun hanya menjadi pesuruh? Sepenting itukah posisi diri kita sebagai pemimpin? Apakah menjadi pemimpin tampak lebih ‘Aktual’ ketimbang menjadi bawahan?
Tak perlu bersusah – susah dengan teori – teori rumit. Cukup liat sedikit atau banyak relita di lapangan, maka jawaban dari pertanyaan terakhir pada paragraph di atas adalah ‘Iya’. Bahwa nyatanya, pemimpin seringkali terlihat lebih eksis ketimbang bawahan. Meskipun kontribusi bawahan punya peran yang sama besarnya dengan atasan, tapi tetap saja atasan yang akan diaktualisasikan. Contohlah Kota Solo dan Mobil Esemka. Saat mobil itu mulai banyak diberitakan di media massa, nama siapa yang akhirnya menjadi tenar? apakah nama anak – anak SMK yang merangkai mobil tersebut, ataukah nama Bupatinya yang sekarang maju ke DKI 1? Jawabannya, jelas. Orang – orang justru lebih mengenal Jokowi dalam ‘insiden’ mobil Esemka itu. Kendati saya pun tak mengerti di bagian yang mana Jokowi punya peran. Untungnya, Pak Kiat sudah menyelamatkan ketenarannya lebih dulu dengan menamai mobil Esemka itu dengan namanya. Nah, di sini mestinya timbul pertanyaan akan makna aktualisasi dalam kepemimpinan. Apakah Eksistensi atau kontribusi?

Saya mengingat sebuah cerita lalu dari sebuah acara pelatihan kepemimpinan. Saat itu pembicara meminta para peserta untuk menggambarkan makna pemimpin dalam satu buah gambar. Dan yang terjadi sangat bermacam – macam. Ada yang menggambar buku, dengan maksud bahwa seorang pemimpin adalah panduan bagi anggotanya. Yang lain menggambar masjid, karena katanya, pemimpin itu harus bisa menjadi orang yang jika anggotanya berada di dekatnya, maka anggotanya itu merasa dekat juga dengan Tuhannya.
Lalu salah satu peserta menunjukan gambar dengan bentuk yang aneh. Sebuah benda bulat, dengan kepala di atasnya. Katanya, itu gambar semar. Lalu dia mulai menjelaskan.
“Bagi saya, semar adalah hal yang paling pas untuk menggambarkan makna seorang pemimpin. Semua ciri yang ada dalam dirinya menjadi ciri yang mestinya ada dalam diri seorang pemimpin. Tubuhnya yang bulat seperti bumi, menandakan bahwa ia adalah tempat berpijak bagi anggota – anggotanya. Lalu wajahnya, wajahnya itu menggambarkan orang yang sedang habis menangis (sembab) dan bibirnya tersenyum. Dalam kondisi asli, tak mungkin ada yang bisa menangis dan tersenyum bersamaan. Tapi seorang pemimpin mestilah demikian, ia mesti bisa merasakan jiwa – jiwa yang menangis karena kegagalannya dalam memimpin berbarengan dengan perasaan bahagianya karena telah melayani dengan baik. Selain itu, dalam sastra pewayangan, semar itu dianggap sebagai perwujudan Dewa yang turun ke Bumi dan tinggal bersama manusia. Begitu pun seorang pemimpin mestinya. Meskipun ia ‘golongan atas’, tetaplah ia mesti hidup dan merasakan hal – hal yang dirasakanngan bawah’” Ujar peserta itu panjang lebar.
Saya yang tak paham sastra pewayangan ini mengangguk – angguk saja. Terlepas dari benar tidaknya yang ia sampaikan, saya membenarkan konsep kepemimpinannya itu. Dan kisah ini memberikan saya jawaban akan pertanyaan yang saya tanyakan di atas. Eksistensi atau Kontribusi. Dan bagi saya, jawabannya adalah keduanya. Pemimpin itu juga harus mencari eksistensi, sebagai bukti bahwa ia telah berkontribusi. Karena biasanya, mereka yang tidak menjadi eksis meskipun telah berkontribusi, akan tidak mempunyai kesempatan berbuat baik lebih besar lewat jalan memimpin. Hanya mereka yang mau berkontribusi dan tidak takut akan cercaan dan mau mengeksiskan diri yang akan menjadi pemimpin.
Namun tak selalu proses memimpin ini dinilai dengan dua hal tadi, eksistensi dan kontribusi. Ada hal lain yang menjadi tempat kembali bagi setiap pertanyaan, tempat yang juga menjadi pemimpin bagi setiap pribadi. Yaitu hati.
Kisah berikut mungkin tak ada hubungannya secara langsung dengan Kepemimpinan. Saya hanya ingin menggambarkan betapa hati pun memiliki hak untuk didengarkan. Terutama saat ia mulai menyarankan tindakan penuh keberanian.
Seorang pendaki gunung tengah mempersiapkan diri untuk mendaki. Ini bukan pendakian pertama, namun yang menarik adalah hari ini, salju turun begitu deras, hingga sebagian besar sisi gunung tampak putih. Tali pengaman telah dipasang, dengan yakin ia mulai menapaki tebing terjal berwarana putih. Setelah lumayan jauh dari tempatnya memulai tadi, tiba – tiba ia merasakan gunung tersebut bergetar, dan dari atas ia melihat salju jatuh ke arahnya. Ia terjungkal, terbawa salju longsor hingga ikut merosot beberapa kaki. Dan ia pingsan dalam keadaan tergantung tali pengaman.
Saat ia sadar, yang ada di pandangannya hanya warna putih, hasil kabut yang timbul dari longsornya salju tadi. Ia tak mampu melihat apa – apa selain warna putih tadi. Tidak ke atas juga ke bawah. Ia sempat ingin memutuskan tali pengaman yang menggantungnya, namun ia takut kalau – kalau jaraknya jauh dari tanah, dan ia khawatir akan terluka serius bila jatuh. Ia memutuskan tetap trgantung di sana.
Hingga satu minggu kemudian, salah satu surat kabar pagi setempat menulis Headline. “Seorang pendaki gunung ditemukan tewas tergantung tali pengaman. Ironisnya, jaraknya dari tanah di bawahnya hanya satu meter”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak dengan berkomentar ya!